News
Redaksi Sepekan: Kontroversi Revisi UU Pelayaran, hingga Pentingnya Kebijakan Terpadu Logistik
Rencana Revisi UU Pelayaran: Dampak dan Tanggapan Pelaku Usaha
Isu Revisi UU Pelayaran
Sejumlah isu menjadi sorotan redaksi sepanjang pekan lalu (26 s/d 31 Agustus 2024) yang sekaligus mendapat perhatian pembaca redaksi Logistiknews.id. Salah satunya adalah rencana revisi UU No:17/2008 tentang Pelayaran yang disikapi pro dan kontra bahkan memunculkan polemik dikalangan penyedia dan pengguna jasa.
Revisi UU Pelayaran, Menguji Eksistensi & Peran Asosiasi
Pelaku usaha di pelabuhan resah lantaran potensi terjadinya monopolistik layanan oleh badan usaha pelabuhan (BUP) serta tarif yang tidak terkontrol. Hal itu bisa terjadi, jika Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, tanpa mempertimbangkan masukan yang telah disampaikan pelaku usaha atau asosiasi terkait di sektor logistik, bongkar muat, pelayaran dan pemilik barang.
Biang keladinya adalah, adanya rencana Pemerintah dan BUP untuk menghapus ketentuan Pasal 110, khususnya ayat (1) dan (5) pada Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU tentang Perubahan Ketiga atas UU Pelayaran tersebut.
Dalam draft awal RUU tersebut khususnya pada pasal 110 ayat (1) menyebutkan, bahwa Tarif yang terkait dengan penggunaan perairan dan/atau daratan serta jasa Kepelabuhanan yang diselenggarakan oleh Otoritas Pelabuhan dan ditetapkan oleh Otoritas Pelabuhan setelah dikonsultasikan dengan Pemerintah.
Ayat (2), Tarif jasa Kepelabuhanan yang diusahakan oleh Badan Usaha Pelabuhan ditetapkan oleh Badan Usaha Pelabuhan berdasarkan jenis, struktur, dan golongan tarif yang ditetapkan oleh Pemerintah dan merupakan pendapatan Badan Usaha Pelabuhan.
Ayat (3), Tarif jasa Kepelabuhanan bagi Pelabuhan yang diusahakan secara tidak komersial oleh Pemerintah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dan merupakan penerimaan negara bukan pajak.
Ayat (4), Tarif jasa Kepelabuhanan bagi Pelabuhan yang diusahakan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota ditetapkan dengan Peraturan Daerah dan merupakan penerimaan daerah.
Ayat (5), Tarif terkait dengan penggunaan perairan dan/atau daratan serta jasa Kepelabuhanan yang diselenggarakan oleh Penyelenggara Pelabuhan, Badan Usaha Pelabuhan, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, atau Terminal Khusus ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara penyedia jasa dan asosiasi pengguna jasa:
a. untuk tarif pelayanan jasa Kapal kepada asosiasi di bidang kepemilikan Kapal dan pelayaran-rakyat; dan
b. untuk tarif pelayanan jasa barang kepada asosiasi di bidang bongkar muat, asosiasi di bidang logistik, serta asosiasi di bidang ekspor dan impor.
Adapun ayat (6), berbunyi bahwa Penyedia jasa dan asosiasi pengguna jasa Kepelabuhanan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan oleh Pemerintah.
Sebelumnya, kalangan pelaku usaha di pelabuhan menilai, draft awal RUU Pelayaran masukan dari DPR-RI tersebut, khususnya pasal 110 itu sudah sesuai dengan harapan pelaku usaha karena telah berjalan dan sesuai dengan apa yang sekarang ini berlaku tentang penetapan tarif-tarif di pelabuhan.
Namun, dalam kesempatan penyampaian pendapat beberapa waktu lalu, Pemerintah cq Kemenhub justru berpendapat bahwa ayat (5) pada pasal tersebut tidak perlu dicantumkan dalam Undang – Undang dan cukup dalam Permenhub saja. Hal inipun diamini oleh pihak BUP.
“Jadi sangat lucu bahwa masukan DPR-RI yang sudah melalui dengar pendapat dengan Asosiasi / Pelaku Usaha, masukannya seolah-olah tidak disetujui oleh Kemenhub yang notabene adalah Pembina Asosiasi disektor kemaritiman,” ujar sumber Logistiknews yang mengikuti penyampaian dengar pendapat dengan DPR itu.
Melihat gelagat tak beres, makanya para asosiasi pelaku usaha di sektor itu secara tegas ramai-ramai menolak rencana Revisi UU Pelayaran No.17/2008 tersebut.
Hal itu dikarenakan, jika soal tarif layanan jasa kepelabuhan tidak lagi melibatkan kesepakatan asosiasi pengguna jasanya maka berpotensi memunculkan tarif sewenang-wenang tanpa kontrol dan monopolistik layanan jasa kepelabuhan oleh BUP.
Bahkan, Asosiasi Logistik dan Forwarding Indonesia (ALFI) DKI Jakarta menegaskan menolak revisi undang-undang nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, terutama mengenai rencana pemerintah untuk menghapus ketentuan Pasal 110 Ayat (1) dan (5) pada Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU tentang Perubahan Ketiga atas UU tersebut.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) DKI Jakarta, Adil Karim, sikap Pemerintah yang mengingikan pasal 110 ayat (5) itu di drop dalam RUU tersebut tidak sesuai dengan keinginan Pemerintah sendiri yang menginginkan cost logistik murah.
“Saya yakin jika pemerintah tidak mendengar aspirasi kami sebagai pelaku usaha, kebijakan tersebut dapat berdampak pada kenaikan tarif logistik yang tidak terkendali dan mengancam daya saing produk Indonesia di pasar global,” ucap Adil.
Dia menegaskan, bahwa asosiasi memiliki peran sebagai alat kontrol, sekaligus mengawasi mengenai tarif-tarif kepelabuhanan.
Sebab, imbuhnya, kalau nanti asosiasi sebagai perwakilan dari para pelaku usaha di bidangnya masing-masing tidak diberikan peran dalam hal penetapan tarif kepelabuhanan, siapa yang akan mengontrol kalau BUP pelabuhan seenaknya membuat tarif sendiri tanpa ada yang mengontrol, mengawasi.
“Keputusan DPP ALFI jelas menyatakan menolak (Revisi RUU itu) dan kami wajib mengikutinya. Karena hal itu untuk membantu menghindari hal yang sangat negatif, dimana kita sekarang sedang menuju ke Indonesia Emas 2045,” katanya.
ALFI DKI Jakarta berharap, Menhub Budi Karya Sumadi lebih peka terhadap masalah ini, karena pada masa jabatannya yang tinggal beberapa bulan lagi, jangan sampai meninggalkan kegaduhan di masa depan.
“Saya rasa semua asosiasi sudah berkirim surat kepada pemerintah mengenai penolakan dan keberatan atas revisi UU Pelayaran tersebut,” ungkap Adil.
Ancaman Mogok
Bahkan, kalangan pemilik barang ekspor yang tergabung dalam Gabungan Perusahaan Eksportir Indonesia (GPEI) mengancam mogok sebagai reaksi menolak penghapusan pasal 110 ayat (5) dalam draft Revisi UU Pelayaran.
Pasalnya, GPEI dan asosiasi tetkait lainnya telah mengusulkan agar Pasal 110, khususnya ayat (1) dan (5) tetap dipertahankan (tidak di drop) sebagaimana tertera pada Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU tentang Perubahan Ketiga atas UU Pelayaran tersebut.
Sekjen GPEI, Toto Dirgantoro mengatakan, jika pasal 110 ayat (5) itu di hapus dalam UU Pelayaran maka dapat menimbulkan ekses favoritisme yang hanya akan menguntungkan anak perusahaan milik BUP dan mematikan usaha dari stakeholders lain di luar anak perusahaan BUP.
Apalagi, kata dia, keterlibatan asosiasi pada pasal 110 ayat (5) dalam penentuan tarif jasa kepelabuhanan adalah salah satu bentuk peran serta masyarakat dalam rangka memiliki kesempatan yang sama dan seluas-luasnya dalam rangka meningkatkan penyelenggaraan pelayaran secara optimal, sebagaimana diatur dalam Bab XVI pasal 274 dan pasal 275 UU No 17/2028 tentang Pelayaran.
“Apabila Pemerintah tetap mempertahankan posisinya menghapus pasal 110 ayat (5) maka GPEI melalui asosiasi-asosiasi afiliasinya akan turun ke jalan untuk menyampaikan aspirasi langsung kepada DPR-RI dan kami akan melakukan upaya hukum atau Judicial Review,” tegas Sekjen GPEI itu, kepada Logistiknews, pada Selasa (27/8/2024).
Karenanya, GPEI secara tegas menolak penghapusan pasal tersebut lantaran menilai redaksi norma hukum yang telah diusulkan DPR pada draft awal Revisi RUU Pelayaran khususnya pasal 110 ayat (5) itu, sebelumnya telah sesuai dengan aspirasi GPEI dan asosiasi terkait lainnya di pelabuhan.
Adapun usulan DPR yang memasukkan pasal tersebut pada draft awal adalah untuk menghindari BUP menetapkan tarif jasa kepelabuhanan sewenang-wenang dan secara sepihak yang dapat berimbas pada penetapan tarif jasa kepelabuhanan yang terlalu tinggi yang akan mengakibatkan bertambahnya biaya logistik yang tinggi sehingga mengakibatkan produk nasional tidak mampu bersaing di lokal maupun internasional.
“Kami (GPEI) juga sudah menyurati Menhub, DPR-RI, Ombudsman, Sekneg, Menko Marvest dan Mendag, Ditjen Perhubungan Laut Kemenhub, mengenai penolakan GPEI terhadap penghapusan pasal 110 ayat (5) di Revisi RUU Pelayaran tersebut,” tegas Toto.
ALFI Jawa Barat, Menolak
Sikap senada dinyatakan pelaku usaha logistik yang tergabung dalam Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Jawa Barat (Jabar).
ALFI Jabar menyatakan menolak revisi UU No:17/2028 tentang Pelayaran jika revisi beleid itu justru mengakomodir penghapusan pasal 110 ayat (5).
Pasal itu dinilai menjadi pasal ‘keramat’ lantaran menjadi marwah eksistensi unsur masyarakat dan pengguna jasa pelabuhan (asosiasi) dalam turut mengawal tarif-tarif jasa kepelabuhanan di tanah air.
“Kalau pasal tersebut di drop atau dihilangkan, kami ALFI Jabar menyatakan menolak revisi UU tersebut,” ujar Ketua ALFI Jawa Barat, Irfan Hakim, melalui pernyataan sikap resminya yang diterima Logistiknews.id, pada Kamis (29/8/2024).
Sikap ALFI Jawa Barat itu, kata dia, berdasarkan sejumlah pertimbangan.
Pertama, ALFI Jabar menyadari bahwa Pemerintah berperan penting mengawasi dan mengendalikan harga kebutuhan bahan pokok masyarakat terutama terkait disparitas harganya, termasuk dengan pendukung utamanya mengendalikan biaya logistik.
“Namun, dalam hal ini diperlukan peran asosiasi sebagai wadah pengguna jasa dalam mewakili masing-masing pelaku pengguna jasa untuk mendukung pemerintah sebagai instrumen pengendalinya,” ujarnya.
Kedua, Penyedia jasa atau BUP yang merupakan public service obligation harus bisa peka, adil dan bijak dalam mengelola industri-nya yang dapat menjaga keseimbangan ekosistem pertumbuhan ekonomi yang merata dan berkeadilan.
“Karena itu, Pemerintah harus mampu menggandeng asosiasi sebagai instrumen pengendalian harga bahan pokok, bahan Baku industri dan biaya logistiknya agar tidak menjadi kesenjangan sosial ekonomi,” ucapnya.
Ketiga, Penetapan tarif jasa kepelabuhanan dan jasa terkait di pelabuhan yang telah berjalan selama ini melalui mekanisme kesepakatan asosiasi, sangat cocok diberlakukan di Indonesia.
“Mekanisme kesepakatan tarif melalui asosiasi sangat cocok dengan budaya/kearifan lokal Indonesia agar pengguna jasa tidak harus melakukannya sendiri-sendiri. Maka perlu wadah menyampaikan aspirasi melalui perwakilannya yaitu asosiasi,” papar Irfan.
Keempat, mengingat kurang optimalnya peran pengawasan dari Pemerintah dan jika semua penyedia jasa harus business to business atau B to B dengan pengguna jasa, belum tentu bisa menjamin ada mekanisme yang berkeadilan.
“Sehingga tidak mungkin ribuan bahkan lebih pengguna jasa harus buat kesepakatan tarif dengan penyedia jasa. Disinilah peran asosiasi yang merupakan perwakilan dan jembatan bagi penyedia jasa yang ideal untuk melalukan kesepakatan agar disparitas harga terdukung pengendaliannya,” jelas Irfan.
ALFI juga menginventarisir, setidaknya di Indonesia sekarang ini ada lebih dari 3.200 pelabuhan dengan beragam skala peruntukannya.
Karenanya, Irfan mempertanyakan apakah Pemerintah dapat melalukan alignment tarif pelabuhan dan jasa terkait tanoa melibatkan pengguna jasa (asosia-nya) untuk setiap lokasi dan skala peruntukannya.
“Dengan berbagai alasan itulah, ALFI Jabar menyatakan sikap agar Revisi UU Pelayaran tetap mengakomodir peran asosiasi pengguna jasa terkait di pelabuhan dalam penetapan tarif melalui kesepakatan penyedia dan pengguna jasa sebagaimana yang telah berjalan selama ini. Jika hal itu ditiadakan, kami menolak Revisi UU Pelayaran,” ungkapnya.
Jokowi: Infrastruktur Hadir untuk Tingkatkan Konektivitas & Efisiensi Logistik
Pembangunan dan perbaikan fasilitas infrastruktur di berbagai daerah memiliki sejumlah tujuan penting.
Salah satunya yakni dapat memberikan dampak positif terhadap perekonomian wilayah khususnya dalam meningkatkan efisiensi transportasi dan konektivitas antarwilayah.
Hal itu disampaikan Presiden Joko Widodo meresmikan sejumlah infrastruktur penting di Provinsi Jawa Barat, pada Kamis, (29/8/2024).
Didampingi Ibu Iriana, Presiden Jokowi pada kesempatan itu meresmikan infrastruktur yang meliputi penggantian 16 Jembatan Callender Hamilton (CH), Jembatan Ciloseh di Kota Tasikmalaya, serta pelaksanaan Instruksi Presiden (Inpres) Jalan Daerah (IJD).
“Dengan mengucap bismillahirrahmanirrahim, 16 jembatan pengganti Callender Hamilton, 22 ruas jalan yang dibangun dengan Inpres Jalan Daerah, dan Jembatan Ciloseh di Provinsi Jawa Barat, saya resmikan pagi hari ini,” ujar Presiden dalam sambutannya saat peresmian yang dipusatkan di Jembatan Citanduy, Kota Banjar, dikutip dari laman Sekneg, Kamis (29/8/2024).
Presiden Jokowi menyampaikan bahwa penggantian 16 Jembatan Callender Hamilton yang tersebar di 8 kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat merupakan upaya pemerintah untuk meningkatkan konektivitas dan memperkuat infrastruktur di wilayah tersebut.
Jembatan-jembatan tersebut memiliki panjang total 1.030 meter dan menelan biaya investasi sebesar Rp1,9 triliun.
“Alhamdulillah, hari ini kita resmikan 16 jembatan Callender Hamilton di Provinsi Jawa Barat yang tersebar di 8 kabupaten dan kota dengan panjang total 1.030 meter dan biaya investasinya Rp1,9 triliun,” ungkap Presiden.
Selain itu, Presiden juga meresmikan 22 ruas jalan sepanjang 121 kilometer yang dikerjakan melalui program Inpres Jalan Daerah (IJD). Proyek tersebut mencakup 13 kabupaten dan kota di Jawa Barat dengan anggaran sebesar Rp521 miliar.
Dalam kesempatan tersebut, Presiden turut meresmikan Jembatan Ciloseh di Kota Tasikmalaya yang menelan biaya Rp112 miliar. Jembatan ini merupakan bagian dari lingkar utara Kota Tasikmalaya yang diharapkan dapat meningkatkan konektivitas serta mengatasi kemacetan di dalam kota.
“Ini akan meningkatkan konektivitas dan aksesibilitas menuju bandara dan Kota Tasik yang juga mengatasi kemacetan yang ada di dalam kota-kota Tasikmalaya,” ucap Presiden.
Jokowi menegaskan, pembangunan dan perbaikan infrastruktur di berbagai daerah ini memiliki tujuan meningkatkan konektivitas, mengefisienkan biaya logistik, dan juga melancarkan aktivitas mobilitas orang dan barang.
Integrated Policy di Industri Logistik
Pelaku usaha logistik nasional perlu menyikapi optimistis bonus demografi yang dimiliki guna mewujudkan Indonesia bisa menjadi negara industri pada saat Indonesia Emas 2045.
Hal mengemuka saat event LogiSYM Platinum 2024, yang digelar di Jakarta pada Kamis (29/8/2024).
Event tersebut diperuntukkan bagi perusahaan logistik, perusahaan manufaktur, pemerhati supply chain management, untuk mendapatkan masukan dari stakeholders terkait perkembangan dunia logistics and supply chain management.
Event LogiSYM Platinum 2024 tersebut diprakarsai oleh Asosiasi Logistik Indonesia bekerja sama dengan LogiSym (The Logistics & Supply Chain Management Society).
Managing Director of LogiSYM, Dr. Raymond Khrisna menyatakan bahwa event ini diharapkan dapat menemukan solusi dan cara yang lebih baik untuk mengoptimalkan operasi dan rantai pasok/supply chain management utamanya di Indonesia.
Pada kesempatan itu, Ketua Asosiasi Logistik Indonesoa (ALI) Mahendra Rianto, mengapresiasi kepada LogiSYM, pihak sponsor, nara sumber, dan juga seluruh peserta.
“Ini sebuah harapan baru bagaimana banyak pihak menyikapi Bonus Demografi 2045. Bagaimana Indonesia bisa menjadi negara industri pada saat Indonesia Emas,” ucap Mahendra.
Event tersebut juga dikemas dengan diskusi round table dengan berbagai topik antara lain; manufaktur, halal logistik, energi hingga electric vehicle (Mobil Anak Bangsa).
Pada sesi diskusi mengemuka bahwa, negara industri adalah suatu keharusan dan disiapkan, tentunya dengan didukung oleh kebijakan yang terintegrasi (integrated policy).
Tak kalah pentingnya, pada event ini juga didiskusikan dengan intens bagaimana menyediakan akses utama yang diperlukan untuk memastikan bahwa individu dan masyarakat lebih aman dan kompatibel dengan kesehatan manusia dan ekosistem ataupun sutainable transportation.
“ALI berharap hasil diskusi ini dapat menjadi pemantik semangat pelaku industri logistics & supply Chain management menyambut bonus demografi 2045,” ujar Mahendra.
Dia menambahkan, event ini sekaligus sebagai bahan masukan bagi pemangku kepentingan (stake holder) utamanya pemerintah sebagai regulator.
“Hal ini agar kebijakan Makro dari Pemerintah beserta turunannya diterbitkan dan dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan industri,” ujar Mahendra.
Tak kalah pentingnya, imbuhnya, dukungan Lembaga Keuangan yang juga berpihak dan sesuai dengan kebutuhan industri.
“Karena itu, kita tidak perlu malu untuk meniru strategi dari negara yang telah sukses melakukan transformadi dengan adanya integrated policy,” tegas Mahendra