News
ALFI Jakarta Meminta Penundaan ‘Halal Logistik’, Ini 4 Alasannya..
Pelaku Usaha Logistik dan Forwarder Minta Pemerintah Tunda Implementasi ‘Halal Logistik’
Polemik Implementasi ‘Halal Logistik’
Pelaku usaha logistik dan forwarder yang tergabung dalam Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) DKI Jakarta meminta Pemerintah melalui BPJPH Kemenag untuk menunda implementasi ‘halal logistik’. Selain karena sedang dilakukan proses revisi terhadap Peraturan Pemerintah (PP)-nya, yakni PP 39/2021, hingga kinipun besaran beban biaya untuk comply sertifikasi ‘halal logistik’ termasuk proses auditnya oleh Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang ditunjuk masih menjadi polemik serius dikalangan pebisnis sektor logistik.
“Karenanya, ALFI DKI meminta implementasi ‘halal logistik’ dapat ditunda, sambil menunggu revisi PP-nya dan kemudian dilakukan sosialisasinya yang lebih masif kepada semua stakeholders terkait,” ujar Ketua DPW ALFI DKI Jakarta, Adil Karim.
Adil mengatakan, penundaan tersebut sebagai jalan tengah atau win-win solution supaya pemahaman aturan itu betul-betul clear dan tidak membebani cost dunia usaha.
ALFI DKI Jakarta, imbuhnya, menyatakan sejalan dengan yang disampaikan Ketua Umum DPP ALFI Akbar Djohan, bahwa harapannya agar untuk comply sertifikasi ‘halal logistik’ bisa gratis, atau minimal dipangkas signifikan dari yang berlaku saat ini yang dinilai memberatkan dunia usaha.
Untuk itu, ALFI DKI menyatakan sikap resmi menyikapi sertifikasi ‘halal logistik’ tersebut setelah melalui Hasil Rapat Pembahasan dan Kordinasi Pengurus ALFI DKI Jakarta.
Tuntutan ALFI DKI Jakarta
- Pertama, Meminta Penundaan Implementasi ‘Halal Logistik’ yang semula dijadwalkan pada 17 Oktober 2024, sambil menunggu hasil Revisi PP-nya dan sosialisasi yang cukup kepada pelaku usaha.
- Kedua, Mengingat kegiatan pendampingan ataupun auditor/pemeriksaan yang dilakukan oleh Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dilakukan oleh pihak ketiga, maka BPJPH dapat melakukan evaluasi hal ini dengan membuat Tim yang lebih komprehensif untuk menjalankan hal itu.
- Ketiga, Demi kemudahaan berusaha, agar untuk registrasi aturan ‘halal logistik’ tidak sulit atau bisa secara daring (online) dan memanfaatkan digitalisasi atau sistem IT yang mumpuni.
- Keempat, Pelaku usaha logistik pada prinsipnya memahami dan tidak keberatan menjalankan aturan ‘halal logistik’ sepanjang biaya untuk comply aturan itu tidak membebani (mahal).
“Kalau biaya itu membebani maka, semangatnya bertentangan dengan program Pemerintah itu sendiri yang ingin menurunkan biaya-biaya logistik. Apalagi saat ini kondisi usaha sektor logistik juga belum sepenuhnya membaik,” ujar Adil.
Adil Karim menegaskan, akibat masih minimnya sosialisasi aturan tersebut, hingga saat ini pun masih sangat banyak perusahaan anggota ALFI DKI Jakarta yang berkecimpung pada kegiatan jasa penyimpanan dan distribusi, belum memahami aturan tersebut.
Dia mengungkapkan, kini terdapat sekitar 1.100 perusahaan yang menjadi anggota ALFI DKI Jakarta.
Sehingga, pemaksaan terhadap implementasi aturan tersebut justru membuat gaduh.
“Oleh sebab itu, kami mohon Pemerintah melalui BPJPH Kemenag menunda aturan tersebut. Jangan dipaksakan sekarang karena tidak tepat waktunya,” papar Adil.
Berkaitan dengan itu semua, ALFI DKI Jakarta juga akan melayangkan surat resmi kepada Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama (Kemenag).
Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama (Kemenag), Muhammad Aqil Irham mengungkapkan, akan ada revisi terkait aturan Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal.
Sejauh ini, beleid itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2021.
Kepala BPJPH juga mengungkapkan belum bisa memastikan apakah ketentuan itu menjadi mandatory ‘halal’ di 17 Oktober 2024 ini, lantaran hal tersebut masih finalisasi pembahasan dengan mempertimbangkan masukan dari pelaku usaha dan asosiasi terkait.
Bahkan, ungkapnya, pada forum grup discussion (FGD) mengenai pedoman penerapan logistik halal yang diadakan di Hotel Oakwood Taman Mini yang diselenggaran oleh Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) pada Kamis (3/10/2024) lalu, yang juga dihadiri kalangan asosiasi pelaku usaha, instansi maupun stakeholders terkait, hal itu juga telah dilakukan pembahasan.
“Kini kamipun sedang menunggu Revisi PP-nya yang sekarang sedang harmonisasi lintas kementerian dan lembaga (K/L). Jadi kita tunggu saja seperti apa hasilnya. Harapannya, sebelum Pemerintahan ini berakhir (20 Oktober 2024) sudah rampung,” ucap Aqil.
Amanat UU
Sebagai informasi, jaminan terhadap kehalalan suatu produk yang beredar di dalam negeri, telah diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH).
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama (Kemenag), juga memastikan bahwa kewajiban sertifikasi halal diberlakukan sesuai ketentuan regulasi Jaminan Produk Halal (JPH) bagi sejumlah jenis produk yang mencakup barang dan jasa.
Adapun sektor jasa yang dikenai kewajiban bersertifikat halal antara lain jasa penyembelihan, jasa pengolahan, jasa penyimpanan, jasa pengemasan, jasa pendistribusian, jasa penjualan dan jasa penyajian. Ketujuh macam jasa tersebut juga hanya dikenakan kewajiban sertifikasi halal jika diperuntukkan bagi makanan, minuman, obat dan kosmetik.
Ketentuan ini diatur di dalam PP 39/2021 maupun di dalam Keputusan Kepala BPJPH Nomor 20 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Keputusan Kepala BPJPH Nomor 57 Tahun 2021 tentang Kriteria Sistem Jaminan Produk Halal.
Regulasi ini sekaligus mengatur agar pelaku usaha wajib memisahkan lokasi, tempat dan alat yang digunakan dalam menjalankan Proses Produk Halal yang meliputi proses penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian.